Pesantren sebagai Ekologi Keilmuan: Kontinuitas Tradisi, Adab, dan Pelajaran Etik dari Polemik “Xpose Uncensored” Trans7Trans 7​

Search

Pesantren sebagai Ekologi Keilmuan: Kontinuitas Tradisi, Adab, dan Pelajaran Etik dari Polemik “Xpose Uncensored” Trans7Trans 7​

imron admin

Updated on:

sejarah pesantren di Nusantara dibangun di atas hubungan ulama dan tarekat yang saling terhubung dengan pusat-pusat studi Islam. Fondasi institusionalnya bertumpu pada lima unsur utama yakni pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran kitab klasik, yang secara bersamaan membentuk budaya bermukim dan karakter epistemik santri.

Narasi kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa embrio pesantren telah ada sejak masa Walisongo (abad ke-15–16) sebagai pusat dakwah, literasi keagamaan, dan pembinaan moral masyarakat. Lembaga ini kemudian berhasil bertahan dan berkembang menjadi ekosistem pendidikan keagamaan yang relevan hingga hari ini.

Dalam bingkai ini, pesantren bukan hanya lembaga pengajaran, melainkan sebuah lembaga belajar yang mengintegrasikan ibadah, penguatan karakter, dan pengabdian sosial. Karena itu, kebijakan publik saat ini mendorong penguatan mutu, kemandirian ekonomi, serta peran pesantren dalam moderasi beragama dan pemberdayaan masyarakat. Pandangan ini konsisten dengan hasil penelitian akademis yang menemukan bahwa tradisi kitab kuning tetap menjadi ruh pendidikan pesantren, tetapi metode dan ruang pengabdian sosialnya terus menyesuaikan zaman. Pola continuity and change ini menjelaskan daya tahan pesantren di tengah modernisasi Indonesia. Pada dasarnya, narasi pemerintah merangkum kesinambungan tradisi Walisongo dengan relevansi modern, yaitu memelihara pesantren sebagai warisan keilmuan yang hidup sambil mendorong inovasinya dalam menghadapi tantangan kebangsaan masa kini.

Pendidikan dan kultur budaya pesantren

Pendidikan dan budaya pesantren berfungsi sebagai ekosistem keilmuan yang menyatukan metode belajar, kebiasaan sehari-hari, dan pengembangan karakter. Di dalamnya, terdapat kurikulum yang bertujuan menyeimbangkan aspek batin dan intelektual. Melalui latihan spiritual (riyadhah), niat dan disiplin santri ditata, sementara ketekunan membaca di bawah bimbingan kyai/ustadz(ah) dan diskusi teks  untuk mengasah pemahaman intelektual. Selain itu, pengabdian (khidmah) menghubungkan ilmu dengan pelayanan sosial. Proses ini menghasilkan kebajikan seperti kerendahan hati (tawadhu’), kesabaran berpikir, dan semangat belajar berkelanjutan, yang memperkuat penalaran santri untuk masa depan. 

Adab santri memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar kepatuhan, yaitu sebagai disiplin batin yang mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Kitab seperti Ta’lim al-Muta’allim menguraikan urutan etis yang sistematis seperti halnya meluruskan niat, memilih guru yang tepat, menghormati ilmu dan pengamalnya, serta belajar secara tertib. Tujuannya adalah agar ilmu berintegrasi dengan akhlak dan membawa keberkahan untuk masa depan. Secara praktis, hal ini diwujudkan dengan datang tepat waktu, mempersiapkan pelajaran, menjaga kesopanan, dan menghindari sikap sombong. Prinsip “adab sebelum ilmu” menekankan bahwa kualitas pemahaman sangat bergantung pada cara ilmu itu diterima. Keseriusan menuntut ilmu juga tercermin dari hal-hal kecil seperti pilihan kata dan sikap, yang bersama-sama membentuk mentalitas belajar yang teratur dan rendah hati sehingga mampu memastikan bahwa perkembangan intelektual berjalan selaras dengan pembinaan karakter.

Dalam kerangka etika kebajikan, adab di pesantren tidak sekadar kepatuhan simbolik, melainkan sebuah disiplin batin yang menyelaraskan niat dan tindakan untuk menjaga kejernihan akal. Sikap hormat kepada guru menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu’), ketekunan, dan kesabaran intelektual yang mampu menahan ego akademik saat menghadapi kritik. Hal ini mendorong kebiasaan baik seperti mendengarkan sebelum membantah, menguji sumber sebelum menyimpulkan, dan menunda penghakiman hingga bukti memadai. Prinsip “adab sebelum ilmu” ini juga diterjemahkan ke dalam etika berkomunikasi di ruang modern dan digital, seperti menyebut sumber secara jujur dan mengutip sesuai konteks, yang menunjukkan kesiapan memperbaiki pendapat berdasarkan data baru. Dengan demikian, adab justru mendukung daya kritis dengan membangun kebajikan epistemik seperti kerendahan hati dan tanggung jawab, yang membuat ilmu berbuah hikmah dan bermanfaat. 

Praktik budaya seperti salim (mencium tangan) dan sowan (bersilaturahmi untuk meminta nasihat) harus dipahami melalui hermeneutika praksis, yaitu dengan melihat makna simbolisnya dari sisi penerapan dan dampak nyata dalam masyarakat. Keduanya merupakan penanda pengakuan terhadap amanah dan otoritas keilmuan guru, serta bukti bahwa ilmu diturunkan melalui sanad, teladan, dan nasihat yang diterima dengan rendah hati. Fungsi utamanya adalah meluruskan niat belajar dan memperjelas peran guru sebagai pembimbing dan murid sebagai pencari hikmah. Dengan demikian, adab yang sejati tidak diukur dari seberapa sering praktik-praktik tersebut dilakukan, melainkan dari kesiapan menjaga niat, mendengarkan, dan mengamalkan ilmu yang diperoleh, sehingga menjunjung tinggi martabat guru

Media Trans 7 perlu pembaruan dan evaluasi dalam membuat konten budaya pesantren.

Trans7 menjadi sorotan publik setelah sebuah episode “Xpose Uncensored” pada 13 Oktober 2025 diprotes keras karena dinilai melecehkan kyai dan Pesantren Lirboyo. Sehari kemudian, 14 Oktober 2025, Trans7 menyampaikan permintaan maaf tertulis sekaligus berjanji melakukan tabayyun. Pada 23 Oktober 2025, pemilik Trans Media bersilaturahmi (sowan) ke Lirboyo untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung dan membahas langkah koreksi. Rangkaian ini menandai dua hal. Pertama, ada pengakuan dari Trans7 bahwa terjadi kekeliruan; kedua, ada ruang untuk memperbaiki cara kerja dan cara bercerita. Artikel ini memotret Trans7 sebagai subjek: bagaimana mereka seharusnya membaca kejadian ini, kewajiban etis apa yang melekat, langkah perbaikan apa yang masuk akal, dan etos seperti apa yang layak dihidupi ke depan.

Trans7 seharusnya menyadari dari awal bahwa masalahnya bukan hanya soal ketersinggungan, melainkan kegagalan memahami konteks saat mengangkat simbol dan praktik pesantren. Meskipun media televisi dituntut serba cepat, singkat, dan visual, keterbatasan ini tidak boleh menjadi pembenaran untuk mengabaikan makna yang utuh. Ketika simbol keagamaan ditarik dari asalnya, penonton hanya melihat luarnya tanpa mengerti fungsinya. Di pesantren, gestur seperti duduk menyimak, salim, sowan, dan cara bertanya adalah bagian dari sistem belajar yang membentuk niat dan kerendahan hati. Memang, media visual butuh potongan-potongan adegan, tetapi jurnalisme yang adil wajib menjaga makna yang mengikat potongan-potongan tersebut.

Pada titik inilah, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) berperan sebagai panduan. KEJ bukanlah sekadar daftar aturan yang baku, melainkan fondasi profesionalisme yang mencakup akurasi, verifikasi informasi, keseimbangan, dan larangan menghakimi. P3SPS, sebagai rambu-rambu khusus penyiaran, menegaskan bahwa konten yang berkaitan dengan isu agama harus ditangani dengan ekstra hati-hati. Dengan kata lain, sebelum menayangkan materi sensitif, Trans7 wajib memastikan adanya uji konteks, narasumber yang kredibel, dan penjelasan istilah yang memadai. Kegagalan memenuhi standar ini bukanlah sekadar kesalahan teknis, melainkan cacat etis yang berdampak pada cara publik memahami pesantren yang diliput. Untuk memperbaiki diri secara dasar, Trans7 perlu mengkaji kasus ini melalui tiga sudut pandang etika. Pertama, deontologi, yang menuntut kewajiban untuk tidak mereduksi praktik keagamaan menjadi cuplikan visual tanpa konteks. Kedua, konsekuensialisme, yang mengharuskan Trans7 mempertimbangkan dampak sosial dari tindakannya, seperti potensi stigma, rusaknya dialog, dan hilangnya kepercayaan publik. Ketiga, etika kebajikan, yang menekankan pentingnya kerendahan hati intelektual saat menghadapi hal yang belum sepenuhnya dipahami, setara dengan keberanian memberitakan fakta. Trans 7 perlu memulai perbaikan dari akar masalahnya. Langkah pertama yang mendesak adalah menata ulang prosedur internal dengan membentuk sebuah Tim Telaah Konten Sensitif. Tim ini akan menjadi garda terdepan, bertugas menguji setiap naskah yang berkaitan dengan isu keagamaan, adat, dan kelompok rentan sebelum diproduksi.

Dalam tim ini, beragam perspektif akan disatukan: mulai dari produser, editor senior, perwakilan hukum, hingga penasihat budaya atau agama dari luar redaksi. Masing-masing anggota memiliki peran kunci. Mereka akan memeriksa ketepatan penggunaan istilah, mengantisipasi potensi salah tafsir, memastikan narasumber yang kredibel dilibatkan, dan merekomendasikan penambahan “kotak konteks” sebagai informasi wajib tayang. Keputusan yang diambil tim ini bersifat mengikat, artinya tidak ada konten sensitif yang bisa lolos tanpa persetujuan mereka. 

Pembentukan tim ini bukan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk memperkuatnya dengan fondasi akurasi dan keadilan yang lebih kokoh. Ini adalah sebuah upaya untuk menjembatani niat baik dengan eksekusi yang bertanggung jawab, memastikan setiap konten yang disajikan tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan.

Kesimpulan  dari polemik “Xpose Uncensored” adalah pemahaman bahwa pesantren adalah ekologi keilmuan, bukan sekadar tempat melainkan Ekologi ini mengintegrasikan cara belajar, pembiasaan hidup, dan pembentukan watak(karakter). Pesantren secara efektif menerapkan pendidikan karakter epistemik, yang membentuk kebajikan penting dalam proses mengetahui, seperti kerendahan hati (tawadhu’), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran dalam menghadapi bukti. hukum implisitnya, yang mencakup riyadhah, sorogan, bandongan, dan khidmah, berfungsi sebagai alat pedagogis untuk memastikan bahwa ilmu yang dipelajari menjadi kebijaksanaan (hikmah), bukan sekadar informasi.

Dari perspektif hermeneutika tradisi, simbol-simbol pesantren seperti salim, sowan, adab bertanya, dan posisi duduk harus ditafsirkan sesuai tujuan pendidikan di komunitas tersebut. Jika simbol-simbol ini dipisahkan dari konteksnya, maknanya akan hilang, dan yang semula merupakan alat pembentuk karakter akan terlihat sebagai formalitas kosong. Oleh karena itu, media dan publik perlu menerapkan prinsip kedermawanan hermeneutik, yaitu menafsirkan dengan niat memahami, bukan menghakimi. Sikap ini sejalan dengan kerendahan hati epistemik (epistemic humility), yang merupakan kesadaran bahwa pemahaman kita bisa salah ketika menghadapi hal-hal yang belum kita mengerti sepenuhnya.

Oleh: Mochammad Imron
Mahasiswa S2 Fakultas Sains dan Tekhnologi, Magister Informatika, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Leave a Comment